Thursday, March 24, 2011

Kerukunan Agama Di Candi Plaosan

Jawa Tengah 
Setelah sekian lama tidak menengok himpunan batu-batu berukir, atau istilah ilmiahnya candi, kucoba sejenak menyempatkan menengok salah satu candi di kawasan prambanan, Jawa Tengah. Awalnya memang tidak ada niat untuk berkunjung ke candi, apalagi sekarang jogja panasnya minta ampun (kata orang pintar ini akibat pemanasan global). Tapi karena waktu itu kebetulan saya mendapat undangan ke nikahan temen, yang kebetulan memang berada di kawasan Prambanan, yah, apa boleh buat, mencoba memutar kembali historia semasa jaman kuliah dulu dengan mampir sebentar di komplek percandian Plaosan. Tapi, waktu itu emang bener-bener panas cuacanya. Barangkali kalo telur ditaruh di atas batu candi, bisa matang itu telur. Hihiii…..

Candi Plaosan mungkin belum banyak orang mengetahui keberadaannya, bahkan mungkin sejarah dari komplek bangunan tersebut. Memang, karena candi ini belum se-terkenal candi prambanan, Borobudur, Besakih, dan lainnya. Namun, jika kita telisik lebih jauh lagi, di komplek percandian inilah banyak sekali data-data sejarah peradaban bangsa Indonesia yang dapat kita baca.

Kompleks Candi Plaosan terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini dapat dijumpai dari Jogja menuju ke arah Solo, tepatnya di Klaten. Jarak dari Jogja ke Prambanan (Candi plaosan berada kurang lebih 1-2 km dari candi prambanan) tidak terlalu jauh, ditempuh sekitar 45 Menit dari Jogja dengan jalan santai berkendara.

Memasuki kompleks candi Plaosan Lor, kita akan dijamu oleh penjaga situs/candi yang mewajibkan anda untuk membayar retribusi sebesar 1500 rupiah per orang. Hemm…cukup murah. Ini berbeda dengan kondisi beberapa tahun yang lalu, anda hanya diminta seikhlasnya untuk dapat masuk ke dalam kompleks percandian. Sangat kebangetan kalo sampai anda tidak mau memberi…hehe…hitung-hitung buat jasa kebersihan candi. Sebelum memasuki halaman utama candi, kita akan di sapa oleh sepasang arca dwarapala/patung penjaga yang sangat besar. Walaupun penampilannya cukup mengerikan, namun tidak ada salahnya jika anda ingin sekedar berfoto bersama dua arca tersebut.

Candi Plaosan merupakan candi Buddha dengan atap candi berbentuk stupa dan beberapa arca Buddha. Kompleks ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman Kerajaan Medang, atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Halaman Utama terletak di pusat kompleks bangunan, berbentuk persegi panjang, dikelilingi pagar pemisah yang memisahkan dua halaman. Di dalam halaman I berdiri dua bangunan induk yang berdampingan arah utara – selatan. Antara candi induk utara dan candi induk selatan dibatasi oleh pagar pembatas yang dihubungkan dengan sebuah gapura.

Mengapa di dalam halaman utama candi terdapat 2 buah candi induk dimana masing-masing candi induk tersebut dipisahkan oleh dinding pembatas dan masing-masing candi induk memiliki halaman? Ini adalah pertanyaan yang menarik. Candi induk utara dan selatan memiliki arsitektur yang sama atau bisa dikatakan kembar. Masing-masing candi induk juga memiliki pola tata ruang yang sama yaitu memiliki tiga bilik ruangan dimana masing-masing bilik terdapat arca-arca budha. Begitu pula dengan adanya lantai atas, seperti halnya bangunan Candi Sari yang terletak tidak jauh dari Plaosan. Pada bilik sebelah selatan, jika anda amati pada lantai, terdapat batu andesit berbentuk persegi panjang yang ada lubang-lubang yang diduga kuat sebagai bantalan tangga naik ke lantai atas. Lantai atas kemungkinan berfungsi sebagai tempat menaruh peralatan-peralatan upacara atau bahkan mungkin dipakai untuk tempat tidur para biksu.

Di antara persamaan-persamaan tersebut, jika mata anda jeli, maka anda akan menemukan perbedaan yang sangat signifikan. Dimanakah itu? Coba anda lihat relief-relief yang dipahat di dalam masing-masing bilik. Tema dari relief tersebut ialah adanya kunjungan peziarah yang berasal dari luar Indonesia (mungkin Persia) yang bisa dilihat berdasarkan busana/pakaian yang dikenakan oleh peziarah sebagaimana digambarkan pada relief tersebut. Jika kita bandingkan gambar relief di candi induk utara dan candi induk selatan, maka yang berbeda adalah figure yang digambarkan  pada relief tersebut. Pada candi induk selatan, figure yang digambarkan adalah laki-laki semua. Sementara di candi induk utara, figure yang digambarkan adalah perempuan semua. Hayoo….berbeda kan?

Berdasarkan literature yang pernah saya baca, antara candi induk utara dan candi induk selatan memang memiliki fungsi yang berbeda. Oleh karena itu, masing-masing memiliki halaman dan dipisahkan oleh dinding pembatas walaupun dinding tersebut terdapat pintu penghubungnya. Fungsi candi induk selatan memang dikhususkan untuk peziarah yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan candi induk utara khusus untuk peziarah perempuan. Hal tersebut didasarkan pada relief yang sudah saya jelaskan tadi. Percaya tidak?

Candi Plaosan sebenarnya merupakan kompleks candi yang luas. Hal itu dapat dilihat dari adanya pagar keliling sepanjang 460 m dari utara ke selatan serta 290 m dari barat ke timur, juga interior pagar yang terdiri atas parit sepanjang 440 m dari utara ke selatan dan 270 m dari barat ke timur. Parit yang menyusun bagian interior pagar itu bisa dilihat dengan berjalan ke arah timur melewati sisi tengah bangunan bersejarah ini.

Jika kita baca referensi mengenai candi Plaosan, maka akan disebutkan bahwa komplek percandian Plaosan terdiri dari candi Plaosan Lor dan candi Plaosan Kidul. Mungkin hal tersebut disebabkan karena secara sekilas  kedua candi tersebut memang berbeda karena terpisah. Antara candi Plaosan Lor dan Plaosan Kidul memang dipisahkan oleh jalan aspal, Namun jika kita lihat secara luas, sangat besar kemungkinan bahwa kedua candi tersebut memang merupakan satu kesatuan alias satu komples percandian Hal tersebut dapat dibuktikan dengan keberadaan parit keliling (kanal) yang mengitari dua candi tersebut. Dengan kata lain Plaosan Lor dan Plaosan Kidul masih berada di dalam satu parit/kanal. Yang menjadi permasalahan adalah hingga saat ini belum ditemukan indikasi adanya candi induk di Plaosan Kidul seperti halnya yang terdapat di Plaosan Lor.

Tahun 2004, ketika saya masih menimba ilmu Arkeologi di UGM, saya pernah praktek lapangan berupa ekskavasi atau penggalian arkeologis di kompleks candi Plaosan Kidul. Tujuan utama dari kegiatan ekskavasi tersebut ialah mengetahui pola tata letak dari candi Plaosan Kidul tersebut dan mengetahui ada tidaknya candi induk. Dari hasil penggalian, ternyata misteri ada tidaknya candi induk di Plaosan Kidul masih menjadi tanda Tanya. Data-data yang diperoleh masih belum dapat menjawab pertanyaan di atas. Namun menurut hemat saya, bahwa antara candi Plaosan Lor dan Plaosan Kidul sebenarnya masih merupakan satu kompleks percandian. Hal tersebut diasumsikan berdasarkan kesamaan tata letak bangunan, arsitektur bangunan, dan keberadaan parit keliling yang mengitari kedua candi tersebut. Bila perkiraan saya benar, maka candi Plaosan (Lor dan Kidul) merupakan sebuah kompleks percandian yang sangat luas dan besar.

Sisi lain yang menarik dari Candi Plaosan ialah bahwa candi ini dapat dikatakan sebagai bukti fisik perpaduan antara agama Budha dan Hindu. Mengapa demikian? Berdasarkan latar belakang sejarahnya, candi ini memang dibangun oleh dua orang yang memiliki perbedaan latar belakang agama. Sri Kahulunan atau Pramodhawardani ialah anak dari pembesar wangsa syailendra yang beragama Budha, sedangkan Rakai Pikatan merupakan salah satu raja mataram Kuno yang beragama Hindu. Kedua insan tersebut kawin dan akhirnya mendirikan bangunan suci.

Arsitektur agama Budha dapat kita lihat pada keberadaan dua buah candi induk bersama stupa-stupa kecil yang mengitari candi induk, sedangkan arsitektur agama Hindu dapat kita lihat pada candi-candi perwara yang juga mengitari candi induk. Seluruh kompleks Candi Plaosan memiliki 116 stupa perwara dan 50 candi perwara.

Mungkin Rakai Pikatan serta Pramodhawardani ingin memberikan pesan kepada kita semua, bahwa perbedaan, entah agama, suku, ras, bukanlah sebagai penghalang untuk menuju kehidupan yang lebih baik lagi. Namun dapat dijadikan sebagai pemacu  untuk dapat memandang perbedaan sebagai hal yang lumrah, tentunya demi kehidupan yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment