Dengan lahan seluas setengah hektare, setiap 10 hari sekali petani bisa memanen dua kuintal cabai. Dengan harga cabai yang saat ini tembus Rp. 50.000 hingga Rp. 60.000, Sulianto mengaku memperoleh penghasilan tak kurang dari Rp. 10 Juta.
"Bukan hanya cabainya yang lebih besar. Buahnya banyak dan pohonnya rimbun. Dengan menggunakan pupuk buatan sendiri meski sudah 15 kali panen, cabai saya tetap berbuah lebat saat ini," jelasnya, kepada Koran Surya, Minggu (20/3).
Lantas seperti apa sebenarnya "formula" Sulianto ini ? "Saya menamakannya pupuk KEMAKMURAN". Cara membuatnya cukup mudah. Untuk satu liter pupuk, dibutuhkan pepaya, air kencing sapi atau kelinci, air kelapa, daun paitan dan kapur. Setelah semuanya terkumpul, dicampur dan difermentasi selama dua minggu.
"Untuk penyemprotan, satu tangki berisi 10 liter. Hanya dibutuhkan dua tutup botol kecil ramuan, sudah berkhasiat," ujar Sulianto.
Bertanam cabai dengan pupuk kemakmuran sebagai pupuk organik ini, memang agak rumit. Karena cabai disemprot pupuk sejak umur seminggu hingga masa panen. Tetapi melihat hasilnya yang memuaskan, petani akan lebih untung bertani dengan cara organik itu.
"Jika menggunakan pupuk buatan pabrik (urea), umur cabai paling panjang satu tahun,lalu mati. Dengan diberi pupuk organik, umur cabai bisa bertahan 3-4 tahun," jelasnya.
Dengan sukses yang diraih Sulianto, banyak petani lain yang lantas memesan pupuk kemakmuran ini. Beberapa minggu lalu, dia juga didatangi peneliti dari raksasa obat PT Bayer asal Jerman untuk membeli ramuan buatannya guna dipatentkan. Tetapi Sulianto menolak. Dia ingin pupuk ini bisa lebih bermanfaat bagi petani di Batu dan Indonesia umumnya.
[surya post]
No comments:
Post a Comment